Rabu, 04 November 2009

KEDUDUKAN MANUSIA DI ALAM SEMESTA

KEDUDUKAN MANUSIA DI ALAM SEMESTA
(Sebuah Upaya Dakwah Islam)
Oleh : Ta’yinul Biri Bagus Nugroho, S.So.I
Penyuluh Agama Islam Kandepag Kab. Semarang
NIP : 150360078

Pendahuluan
Uraian tentang kedudukan Manusia di alam semesta dalam hubunganya dengan Dakwah dan Pendidikan Islam, merupakan bagian yang amat penting, karena dengan uraian ini dapat diketahui dengan jelas tentang potensi yang dimiliki manusia serta dapat dirumuskan secara baik dan sistematis. Juga karena dalam kegiatan dakwah dan pendidikan manusia merupakan subyek dan obyek yang terlibat di dalamnya.
Pembahasan tentang manusia sampai kapanpun tidak pernah akan berhenti dan sekaligus sangat menarik, hal ini karena manusia merupakan mahluk Ciptaan Allah yang sangat istimewa dan penuh rahasia illahi.
Ikhtiar untuk mempelajari manusia tidak pernah berhenti, lebih-lebih ketika berbicara tentang bagian dakwah isla yaitu pendidikan islam otomatis harus mengetahui manusia itu sendiri, sebab pendidikan pada dasarnya suatu usaha untuk memanusiakan manusia.
Manusia yang mempunyai kemampuan dan peran yang berwawasan pada ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK) dan diperkokoh dengan iman dan taqwa (IMTAQ) merupakan tujuan inti dari proses pendidikan. Kemampuan dan peranan yang dimaksud adalah kemampuan dan perannya dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pembangunan bangsa di masa datang yaitu kemampuan membudidayakan insan dan sumber daya alam semaksimal mungkin.
Hakekat Penciptaan Manusia
Dalam berbagai literatur, khususnya di bidang filsafat dan tentang hakekat manusia banyak dibicarakan tentang hakekat manusia. Sastra Prateja misalnya mengatakan bahwa manusia adalah suatu sejarah, suatu peristiwa yang semata-mata dalam hakekat manusia hanya dilihat dalam sejarah perjalanan bangsa manusia. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian antropological constans yaitu dorongan-dorongan dari orientasi yang tetap dimiliki manusia. Ia menambahkan ada sekurang-kurangnya enam antrhropological constans yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia, yaitu: (a). Relasi manusia dengan kejasmanian alam dan lingkungan ekologis, (b). Keterlibatan dengan sesama, (c). Keterikatan dengan struktur sosial dan institusional, (d). Ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat, (e). Hubungan timbal balik antara teori dan praktek, (f). Kesadaran religius. Keenam antropological constans ini merupakan suatu sintesis dan masing-masing saling berpengaruh. (Abudin Nata,2005: 80).
Di samping itu ada unsur lain yang membuat dirinya dapat mengatasi pengaruh dunia sekitarnya serta problem dirinya, yitu unsur jasmani dan rohani. Kedua unsur ini sudah tampak pada berbagai mahluk lain yang diberi nama jiwa atau soul, anima, dan psyche, tetapi pada kedua unsur itu, manusia dipengaruhi nilai lebih hingga kualitasnya berada diatas kemampuan yang dimiliki oleh mahluk-mahluk lain. Dengan bekal yang istimewa ini manusia mampu menopang keselamatan, keamanan, kesejahteraan dan kualitas hidupnya. Selain itu juga manusia merupakan mahluk berperanan yang mampu membuat sejarah generasi. (Jalaludin,2001:12-13).
Manusia diciptakan Allah sebagai mahluk yang paling mulia dari segi bentuk dan keistimewaan akal pikiran yang membedakan dengan mahluk yang lainnya. Dr. Alexis, mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya (Abudin Nata,2005:81).
Kaitanya dengan pertumbuhan fisiknya, manusia dilengkapi dengan potensi berupa kekuatan fisik, fungsi organ tubuh dan panca indera,kemudian dari aspek mental, manusia dilengkapi dengan potensi akal, bakat, fantasi maupun gagasan. Potensi ini dapat menghantarkan manusia memiliki peluang untuk bisa menguasai serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnoogi, dan sekaligus menempatkannya sebagai mahluk berbudaya.
Manusia juga mempunyai unsur lain yang sangat berguna bagi kehidupan manusia yaitu Qolbu. Perpaduan daya yang dimilki manusia membentuk potensi yang menjadikan manusia bisa menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, dan mampu mengatasi tantangan hidupnya.Lebih lanjut bisa berkreasi, berinovasi dan berkarya dalam memperbaiki kualitas hidupnya.
Dari pendapat tentang manusia yang diungkapkan diatas menunjukkan betapa sulitnya memahami manusia secara utuh, tuntas dan menyeluruh.
Selanjutnya penulis menampilkan potret yang dimiliki manusia menurut al-Qur’an. Al-Qur’an memperkenalkan dua kata kunci untuk memahami manusia secara komprehensif.
1. Al-Insan, kata ini yang benttuk jamaknya Al-Nas dari segi semantik (Ilmu tentang akar kata), dapat dilihat dari asal kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan mita izin.Atas dasar ini kata tersebut mengandung kata petunjuk adanya kata substansial antara manusia dengan kaitan penalarannya itu manusia dapat mengambil pelajarannya dari apa yang dilihatnya. Ia adapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.(Musa Asyarie,1992:19).
kata insan jika dari segi asalnya nasiya yang berarti lupa. Penggunaan kata al-insan sebagai kata bentuknya yang termuat dalam al-Qur’an, mengacu pada potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Potensi tersebut antara lain berupa potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara fisik (QS.23:12-14)(DEPAG RI,1982-1983:572). Sedangkan kata insan jika dilihat dari segi asalnya al-uns atau anisa dapat berarti jinak. Atas dasar ini, bintang jinak seperti kucing, dapat disebut dengan binatang yang anis. Kata Al-insan dan kata Al-Insi keduanya berasal dari kata An-nisa.
Akan tetapi dalam al-Qur’an kata al-insi sebenarnya dipakai dalam kaitan dengan kata al-jinnin yang dapat diartikan sebagai lawan dari kata anisa(jinak). Oleh karena itu, mahluk jin dapat dikatakan sebagai mahluk yang buas. Dari beberapa pengertian diatas, dapat diperoleh pengertian bahwa pada hakekatnya manusia adalah jinak, dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan alam sekitarnya, manusia merupakan mahluk yang berbudaya,
2. Al Basyr. Kata Basyr dipakai untuk menyebut semua mahluk, baik laki-laki ataupun perempuan, baik secara individu maupun kelompok. Kata Basyr adalah jamak dari basyarah yang artinya permukaan kulit kepala dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.
Pemakaian kata basyar di beberapa tempat dalam al-Qur’an seluruhnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut adalah anak Adam yang bisa makan dan berjalan di pasar-pasar atau dimanapun dan mereka saling bertemu atas dasar persamaan. Istilah basyar dipandang dari biologis yang mengacu pada aspek lahiriahnya. Memiliki tubuh yang sama, membutuhkan makan dan minum, dari apa yang ada di alam semesta ini, mengalami pertumbuhan dari kecil hingga tua dan akhirnya mati. Sedangkan manusia dalam pengertian insan bertumbuh dan berkembang tergantung kebudayaan termasuk di dalamnya pendidikan. Manusia adalah perpaduan antara unsur jasmani dan rohani (fisik dan jasmani) antara satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan.
Potensi Manusia
Secara garis besarnya ada empat potensi yang dimiliki manusia yang secara fitrah sudah dianugerahkan Allah :
a. Hidayat al-Gharizziyah (Potensi Naluriah). Dorongan ini bersifat Primer. Pertama, dorongan untuk menjaga keutuhan dan kelanjutan hidup manusia.Kedua, dorongan untuk mempertahankan diri, Ketiga, dorongan untuk mengembangkan jenis.
b. Hidayat al-Hassiyat (Potensi Inderawi). Potensi ini erta kaitannya dengan peluang manusia untuk mengenal sesuatu diluar dirinya. Melalui alat indera yang dimilkinya manusia dapat mengenal suara, cahaya, warna, rasa, bau dan aroma maupun bentuk sesuatu indera berfungsi sebagai media yang menghubungkan manusia dengan dunia di luar dirinya.
c. Hidayat al-Aqliyah (potensi Akal). Potensi akal memberikan kemampuan kepada manusia untuk memahami simbol-simbol, hal-hal abstrak, menganalisa, membandingkan, maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan antara yang benar dan salah. Kemampuan akal mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam penciptaan kebudayaan serta peradaban manusia dengan kemampuan akalnya maupun penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk mengubah serta merekayasa lingkunganya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman dan nyaman.
Menurut Dr.M. Suyudi, ketiga potensi diatas disebut potensi Tri Marta (jasad, akal dan ruh). Islam sebagai agama fitrah mengakui keberadaan Tri Marta dalam watak manusia,karena manusia bukan sekedar lembaga tubuh, susunan akal atau ruh yang terpisah, melainkan ketiga unsur tersebut saling melengkapi. Islam tidak menerima pandangan materialisme yang terpisah dari aspek roh dan spiritualisme yang terpisah dari materi (M. Suyudi,2005:48).
d. Hidayat al-Diniyyah (potensi Keagamaan). Potensi keagamaan yaitu dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam antropologi dorongan ini dimanifestasikan dalam bentuk percaya terhadap kekuasaan supernatural (believe in supranatural being).
e. Kebudayaan Manusia di alam semesta. Bebicara mengenai kedudukan manusia di alam semesta ini selalu dihubungkan dengan konsep kekhalifahan manusia di muka bumi dan konsep ibadah.
1. Sebagai Khalifah.
Khalifah = wakil, pengganti atau duta manusia (Wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi) . Pengganti Nabi Muhammad SAW dalam fungsinya sebagai Kepala Negara.(Depdiknas,2003:35).
Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an membahas masalah kekhalifahan ini. Menurut hasil penelitiannya, bahwa dalam al-Qur’an terdapat kata khalifah dalam bentuk tunggal sebanyak dua kali, yaitu dalam surat al-Baqoroh ayat 30 dan Shad ayat 26 dan dalam bentuk plural(jamak) yaitu khala’if dan khulafa’ yang masing-masing juga diulang.
Keseluruhan kata tersebut menurutnya berakar dari Khulafa’ yang mulanya berarti ”di belakang”. Dari sini kata khalifah menurutnya sering kali diartikan sebagai ”pengganti” (karena yang menggantikanya selalu berada atau datang dari belakang, sesudah yang digantikannya). Dengan mengacu pada ayat yang artinya: ”.....dan Daud membunuh Jalut, Allah memberi kekuasaan kerajaan dan hikmah serta mengajarkannya apa yang Ia kehendaki....”.Dia mengatakan bahwa kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud AS nertalian dengan kekuasaan mengolah wilayah tertentu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-Hikmah dan Pengetahuan.(Quraish Shihab,1992:157). Kekhalifahan yang dikaitkan upaya Tuhan memberi pengetahuan ini menunjukkan adanya kaitan antara kekhalifahan dengan pendidikan, yaitu untuk dapat menjalankan kedudukan manusia sebagai khalifah maka harus dibekali pendidikan.
Masih menurut Qurais Shihab, bahwa makna ”pengolahan wilayah tertentu” atau katakanlah bahwa pengolahan tersebut berkaitan dengan kekuasaan politik, dipahami pula ada ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafa’. Ini berbeda dengan kata Khalaif yang tidak mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memilki kekuasaan politik dinamai al-Qur’an Khalaif, tanpa menggunakan bentuk mufrad, tunggal (khalifah). Tidak digunakanya bentuk tunggal untuk makna tersebut agaknya mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang politik itu. Hal ini dapat terwujud dalam pribadi seseorang atau diwujudkan dalam bentuk otoriter atau diktator.
Istilah khalifah dal;am bentuk mufrod (tungal) yang berarti penguasa politik hanya digunakan untuk nabi-nabi, yang dalam hal ini Nabi Adam AS dan tidak digunakan pada manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia umumnya biasanya digunakan istilah Khalaif atau khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari manusia sebagai khalifah di muka bumi memang tidak ada salahnya,karena dalam istilah khalaif sudah terkandung istilah khalifah.
Untuk lebih menegaskan fungsi kekhalifahan manusia di alam ini, bisa dilihat ayat-ayat dibawah ini, QS. Al-An’am 6:165 (Depag,1982:217)
               •       
Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dan QS. Fathir,35:39
       ................ 
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi....................

Ayat diatas menunjukkan kedudukan manusia sebagai khalifah juga mengisyaratkan perlunya sikap moral atau etik yang harus ditegakkan dalam menjalankan fungsi sebagai khalifah. Quraish Shihab mengatakan bahwa hubungan antar manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan hubungan antar penakluk dan yang ditakluk, atau antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukkan kepada Allah SWT. Karena kalaupun manusia mampu mengolah (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkanya untuk manusia.
2. Sebagai Hamba Allah.
’Abd, hamba, sahaya, budak semuanya bermakna hamba. Dalam al-Qur’an kata ’Abd disebut 27 kali dengan berbagai makna dan dalam bentuk ’Ibad 93 kali, yang menunjuk arti penghambaan manusia kepada Allah SWT, sebagai khaliq (pencipta). Istilah Abd atau ’Ibad menunjukkan bahwa seluruh umat manusia di ahadapan Allah SWT, adalah hamba Allah yang tunduk, patuh dan taat kepada perintah dan larangannya.
Kesimpulan
Merujuk kepada status manusia sebagai hamba Allah SWT, dititikberatkan kepada upaya bagaiamana ia dapat mengaktualisasikan diri sebagai hamba Allah yang patuh dan taat, artinya bagaimana seorang hamba membentuk pribadinya semaksimal mungkin menjadi hamba yang setia, tanpa pamrih dan tidak menduakan Allah SWT. Seluruh aktivitas manusia dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Untuk dapat menjalankan tugas sebagai khalifah dan ’Abd dengan maksimal manusia harus dibekali dengan pendidikan, pengalaman, skill, tekhnologi dan sarana pendukung lainnya. Ini suatu pertanda bahwa konsep kekhalifahan dan ibadah erat kaitanya dengan dakwah dan pendidikan. Manusia seperti inilah yang diharapkan muncul dalam proses dakwah dan pendidikan.
Daftar Pustaka
Asy’ari, Nusa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta, 1992
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Jakarta: 1982/1983
Jalaludin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT.raja Grafindi,2001
Nata. Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, 2005
Shihab, Quraish, Nembumikan Al-Qur’an,Bandung: Mizan,1992.
Suyudi,M, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, Yogyakarta: Mikraj,2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar